Minggu, 02 April 2017

PERKEMBANGAN PROSA JAWA MODERN

PERKEMBANGAN PROSA JAWA MODERN
Oleh:
Anisatun Nikmah

Prosa Sebagai Bagian dari Sastra Jawa
Sebelum masuk ke perkembangan prosa Jawa modern, lebih dahulu kita membahas apa yang dinamakan dengan prosa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prosa merupakan salah satu jenis karya sastra karangan berbentuk narasi dan tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi.  Kita tahu bahwa ada 3 jenis karya sastra, diantaranya adalah puisi, drama, dan prosa. Karya sastra prosa antara lain dongeng, cerita rakyat, novel, roman, biografi, dan lain-lain. Menurut Altenbernd dan Lewis (1996:14) fiksi diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antara manusia.
Prosa seperti novel, cerita pendek, esai adalah salah satu bahan bacaan yang merupakan bagian dari sastra Jawa. Perkembangan sastra modern di Jawa bisa dibilang cukup lambat karena genre-genre baru masih ada hubungannya dengan dunia Barat yang belum bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Pada abad ke-19 di pulau Jawa, hubungan-hubungan intelektual dengan bangsa Eropa mengakibatkan penulisan beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional.
Awal Mula Perkembangan Prosa Jawa Modern
Pada tahun 1832 sampai 1843 di Instituut voor de Javaansche Taal Surakarta, C.F. winter menghasilkan naskah-naskah yang ditulis di bawah pengawasannya dengan tujuan menyediakan bahan bacaan yang agak mudah bagi pelajaran bahasa Jawa, yaitu dalam versi prosa Jawa atau beberapa karya klasik dalam tembang macapat. Hal tersebut  memberi perangsang untuk menyusun naskah-naskah berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah sastra klasik. Suatu contoh buku demikian adalah (Cariyos Bab) Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwa Lelana (Batavia, 1865) karangan M.A. Candranegara, Bupati Demak. Karya tersebut merupakan kisah perjalanan dalam prosa, ditulis dengan gaya jurnalistik, dan dimaksudkan untuk tujuan pendidikan. Contoh-contoh lain tentang karya-karya yang ada di luar tradisi sastra klasik adalah biografi Ranggawarsita yang ditulis oleh Padmasusastra atas anjuran D. van Hinloopen Labberton. Kemudian autobiografi Suradipura, sekretaris G.A.J. Hazeu, dan Serat Raga Pasaja, yang ditulis dalam bentuk prosa dengan bahasa Jawa ngoko yang informal oleh Raden Sasrakusuma.
Sebuah karangan yang mungkin secara tidak langsung diilhami oleh ide-ide Eropa ialah kisah panjang yang ditulis oleh Soma Raja, ketika di situ suatu pemberontakan melawan Belanda sedang direncanakan, tetapi dapat dibasmi. Perjalanannya itu diteruskan melalui Semarang ke Surabaya dan berakhir di Bangkalan (Madura). Tema ini bukannya tidak lazim dalam sastra Jawa, tetapi yang membuatnya menarik ialah karena tertulis dalam bentuk prosa serta dalam bahasa Jawa ngoko pula.
Padmasusastra adalah tokoh penting dalam pengajaran bahasa Jawa sekitar tahun 1900. Sebagai seorang pendidik Padmasusastra juga telah berjasa dengan menghasilkan “bahan bacaan” dalam bentuk prosa. Hasil pertama dari usahanya adalah saduran yang dibuatnya dari karya Surya Wijaya, Randa Guna Wecana, yang dipersiapkan untuk D.F. van der Pant (Serat Durcara Arja, Tijdschrift Batav, Genootschap vol. 31, 1886),  yang kemudian diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka (no.11, 1911). Karyanya yang belakangan, Serat Rangsan Tuban, sebuah novel kebatinan merupakan karya yang populer.
Namun pada masa awal penulisan sastra nontradisional terutama cerita fiksi dalam bentuk prosa yang semata-mata hanya untuk hiburan saja tampaknya belum disenangi dan masih harus menempuh perjalanan panjang. Dengan demikian, barangkali selain Serat Rangsan Tuban, belum ada di antara karya lain yang dapat dianggap sebagai novel pada masa itu.
Novel merupakan genre sastra yang di negeri Barat pun mengalami perkembangan yang sangat panjang. Tradisi penulisan novel yang subur hanya mungkin terjadi apabila terdapat sekelompok penulis novel berbakat dan kreatif, sejumlah penerbit dan percetakan yang kuat keuangannya, aparat distribusi yang berjalan dengan lancer dan mungkin yang paling penting dari semua itu adalah masyarakat pembaca yang cukup luas dan mau menyisihkan uang mereka untuk bacaan itu sehingga secara ekonomis semua itu berjalan cukup lancar. Namun pada kenyataannya syarat tersebut tidak terpenuhi ketika novel diperkenalkan di Jawa. Genre inni baru timbul ketika sebuah badan penerbit milik pemerintah yaitu Balai Pustaka telah mulai memberi rangsangan  terhadaan penulisan cerita yang dapat dijadikan bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat dengan menaruhnya di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa genre Barat ini masuk ke dalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya pengajaran Eropa ke dalam masyarakat Jawa. Banyak di antara para pengarangnya adalah seorang guru, dan banyak di antara pembacanya adalah murid pada sekolah-sekolah yang didirikan oleh Eropa.
Peranan Balai Pustaka sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah itu dimulai pada tahun 1911. Di antara penerbitan-penerbitan pertama Balai Pustaka, kita jumpai terutama buku-buku dengan unsur-unsur fiksi yang dipadu dengan kecenderungan ditaktik atau ajaran moral yang jelas. Buku yang jelas hanya mementingkan ajaran moral dan belum banyak mempunyai arti sastra adalah karya Prawirasudirja, Serat Panutan (BP 136, 1913, 96 hlm.) dan Isin Ngaku Bapa (BP 306, 1918, 84 hlm.). Karya Kuswadiarja, Rara Kandreman (BP 183, 1916, 33 hlm.), adalah sebuah fabel, seperti karya Adisusastra, Kartimaya (BP 235, 1917, 135 hlm.).
Sebuah buku kecil yang menunjukkan kelemahan orientasi Balai Pustaka dalam periode awal ini adalah karya Sindupranata, Lelakone Amir (BP 270, 1918, 43 hlm., L), sebuah kisah mengenai seorang anak yatim piatu yang memang bagus penulisannya, tetapi jelas ditujukan pada masyarakat pembaca anak sekolah. Karya R. Siswawinata, Margining Kautaman (BP 370, 1919, 136 hlm., L), tentang istri bupati yang baik hati, lagi-lagi mengemukakan ajaran moral.
Semua buku kecil ini ditujukan pada anak sekolah dan masyarakat desa yang sederhana, yang harus diberi bahan bacaan yang sifatnya mendidik. Mutunya kerap kali mendekati “buku budi pekerti” dari tahun-tahun sebelum 1940 di negeri-negeri Barat. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau para ahli sastra Jawa tidak dapat menerimanya sebagai sastra, bahkan menganggapnya tidak lebih dari buku bacaan saja, sedang yang dianggap sebagai  hanyalah hasil-hasil tertulis sastra lisan tradisional dalam bentuk tembang macapat. Namun bagi kita mungkin buku-buku tersebut terlihat menarik karena menunjukkan betapa lamban dan sulit proses berakarnya suau genre sastra Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk dibaca dan bukannya untuk “didengar”.
Dengan diterbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanta (BP 432, 1920, 139 hlm.), mulailah periode baru. Novel tersebut adalah buku yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan diktaktik ajaran moral. Serat Riyanta bercerita tentang masalah pemberontakan generasi muda perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Terlepas dari cerita itu, Serat Riyanta juga menarik sebagai lukisan masyarakat bangsawan Surakarta pada awal abad kedua puluh.
Banyak buku-buku terbit setelah kemunculan Serat Riyanta terutama dalam bentuk prosa diantaranya adalah Buku Jayengutara, Mitra Musibat (BP 580, 1921,87 hlm.),  kemudian Yasawidagda, Jarot (terdiri dari dua bagian: BP 404, 1922, 81 hlm. dan 404a, 1931, 107 hlm.). Yasawidagda adalah penulis berbakat serta termasuk yang paling produktif dari periode setelah tahun 1920. Selain dari dua pengarang tersebut masih ada buku berjudul Mrojol Selaning Garu (BP 414, 1922, 86 hlm.) karya Sasraharsana. Kemudian Kamsa, Supraba lan Suminten (BP 636, 1923, 167 hlm.), Tubiran Yatawiharja, Kontrolir Sadiman (BP 654 1924, 46 hlm.) hingga Suratman Sastradiarja, Sukaca (BP 519, 1926, 44 hlm.).
Penulis terbaik dari kurun waktu 1925-1930 adalah Asmawinangun. Ia tidaklah luar biasa dalam pemilihan tema namun karena dia pandai melukiskan suasana, dialog-dialognya hidup, dan bahasanya yang enak berhasil mencekam para pembacanya. Diantara karyanya yang terkenal adalah Jejodoan Ingkang Siyal (BP 755, 1926, 115 hlm., L), kemudian Saking Papa Dumugi Mulya (BP 782, 1928, 141 hlm., L), Mungsuh Mungging Cangklakan (BP 824, 1929, 131 hlm., L), dan Pepisahan Pitulikur Taun (BP 870, 1929, 120 hlm., L).
Selama tahun tiga puluhan, perkembangan yang dimulai dalam periode sebe;umnya berjalan terus, tidak berhenti atau berubah banyak. Para penulis tetap menggunakan tema perselisihan antara generasi tua dan generasi muda, baik karena pandangan yang berbeda mengenai pemilihan teman hidup maupun karier pilihan anaknya; selanjutnya akibat-akibat menyedihkan dari kawin paksa, beristri dua, sifat manja karena salah asuhan, atau kesukaan berjudi; penderitaan yang disebabkan oleh terjadinya musibah, retaknya keluarga, atau dibesarkan sebagai anak yatim piatu; pengalaman selama hidup terasing dari tempat kelahiran, baik secara disengaja maupun dipaksa, dan, akhirnya tentang kejahatan dan pembongkarannya.
Penggunaan huruf Latin, yang mula-mula hanya dilakukan pada buku untuk anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir (1918), dan dalam buku-buku yang bersifat jurnalistik, seperti karya Yitnasastra, Kisah Layaran dating Pulo Papuwah (1919), menjadi lebih umum sekitar tahun 1925, Bahasa Jawa ngoko sejak awal mula umum digunakan untuk buku-buku anak-anak: Sindupranata (1918), Suratman Sastradiarja (1923, 1928, 1928), Sastrasutiksna (1925), Kamsa Wiryasaksana (1926), dan Kamit Nataasmara (1927, 1929, 1932). Maka ketika Kusumadigda (1928) dan Sukarna (1929) juga memilih gaya ngoko ini dalam buku-buku yang ditulisnya untuk pembaca yang lebih dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, itu merupakan pembaruan yang penting. Setelah tahun 1930, contoh ini lama-lama diikuti oleh jumlah penulis yang semakin bertambah, sehingga setelah tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan perkecualian yang langka.
Penyusunan plot yang baik masih saja merupakan kesulitan bagi setengah penulis. Akibatnya, banyak buku yang tetap hanya “cerita” saja tentang suatu peristiwa yang menarik hati sang penulis serta yang dianggapnya patut diceritakan kepada masyarakat luas. Akan tetapi, cerita semacam ini biasanya cepat selesai dan akibatnya buku-buku seperti itu umumnya hanya kecil-kecil.
Fasilitas penerbitan dan distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan cerita prosa modern. Orang dapat mengatakan bahwa sastra modern yang sedang tumbuh itu ditopang oleh badan penerbit pemerintah ini dalam tahun 1911-1941. Penerbitan dan percetakan swasta, seperti Tan Khoen Swie di Kediri, Mardi Mulya di Yogyakarta, Siti Syamsiah, Rusche, Sadur Budi, Kalimasada, dan Mars di Surakarta, Van Dorp di Semarang, dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif di bidang ini, dan baru setelah 1933 Panyebar Semangat di Surabaya mulai memainkan peranannya.
Dari tahun 1935 majalah Panyebar Semangat menerbitkan dalam bentuk cerita bersambung sejumlah novel yang dapat diperbandingkan dengan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sekitar tahun 1936 jenis cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat. Dalam Kejawen dimuat secara anonym, seperti kebanyakan sumbangan-sumbangan tulisan lainnya dalam majalah ini. Dalam Panyebar Semangat, genre ini kerap kali digunakan untuk tema-tema dengan kecenderungan nasionalisme, dan sebagian besar pengarangnya lebih suka menggunakan nama samaran.
Selama pendudukan Jepang, penerbitan Kejawen dan Panyebar Semangat dihentikan. Satu-satunya medium yang masih ada adalah Panji Pustaka, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.  Dari tahun 1943 majalah ini terbit dengan lampiran berbahasa Jawa dan Sunda. Dua orang penulis muda yang tampil dalam periode ini ialah: Purwadhie Atmadiharja dan Subagya Ilham Natadijaya (Soebagijo I.N.). Mereka inilah yang menjadi pelopor generasi penulis cerita pendek dari masa sesudah Perang.
Sastra Modern sesudah 1945
Pertumbuhan ke arah kedewasaan sastra modern mulai sesudah tahun 1950, ketika perjuangan untuk kemerdekaan telah selesai, sementara kondisi social dan politik masih berkembang. Suripan membedakan tiga periode pokok dalam sejarah sastra Jawa modern, yaitu:
       I.            1920-1945 periode Balai Pustaka: genre novel diutamakan;
    II.            1945-1966 periode perkembangan bebas: di samping novel juga cerita pendek dan puisi bebas dikembangkan sebagai genre penting; perkembangan sastra didukung oleh tiga generasi penulis;
a) Angkatan Kasepuhan (telah tampil sebelum tahun 1945), b) Angkatan Perintis (tampil tahun 1945 dan sesudahnya); c) Angkatan Penerus (tampil tahun 1960 dan sesudahnya).
 III.            1966-sekarang periode sastra majalah: eksplosi roman panglipur wuyung diikuti oleh peranan majalah-majalah berbahasa Jawa menjadi saluran publikasi terpenting; Angkatan 1966 tampil: generasi penulis yang lahir setelah tahun 1939.
Bagian pertama periode 1945-1966 dikuasai oleh generasi penulis tua. Baik dari segi komposisi maupun gaya, karya mereka pada umumnya sesuai dengan tradisi Balai Pustaka dari masa sebelum 1942. Akan tetapi, sejak tahun 1945 semua buku dan majalah dicetak dalam huruf Latin. Penulis-penuis yang termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut: Th. Surata dengan novel O, Anakku….. (BP 1874, 1952,92 hlm.), R. Harjawiraga dengan Sri Kuning (BP 1933, 1953, 136 hlm.), Senggana dengan karyanya yaitu Kembang Kantil (BP 2008, 1957, 179 hlm.). pada tahun itu juga Senggana juga menerbitkan novel lainnya dalam Jaya Baya (JB) dengan judul Wahyu Saka Kubur (JB, 1957). Kemudian ada Sri Hadijaya yang merupakan penulis paling produktif dari Angkatan Kasepuhan ini, tetapi harus diakui pula bahwa gaya bahasa dan komposisi cerita-ceritanya kadang merosot ke tingkat yang agak rendah. Ia menulis Jodo Kang Pinasti (BP 1882, 1952, 88 hlm.), kemudian Priyayi Saka Transmigrasi (PS,1956), Serat Gerilya Sala (BP 1978, 1958, 63 hlm.), Wasisan (PS, 1958), Wahyuning Wahyu Jatmika (PS, 1958), dan Napak Tilas (PS, 1960). Di samping buku-buku ini, ia juga menulis cerita pendek dan sejumlah “roman picisan”.
Para penulis muda dari generasi sesudah Perang sebagian besar terlibat aktif dalam pendidikan, pers, dan radio. Generasi ini yang oleh suripan disebut Angkatan Perintis atau “Generasi Pelopor” – dipimpin oleh Subagiya Ilham Natadijaya yang lahir di Blitar pada tahun 1924. Tokoh yang paling tua di antara pengarang-pengarang Angkatan Perintis adalah Any Asmara (Achmad Ngubaini Ranuasmara), yang lahir di Banyumas tahun 1913. Ia adalah seorang otodidak dan akhirnya menjadi penulis yang sangat produktif dan telah menerbitkan banyak sekali cerita pendek dalam semua majalah berbahasa Jawa. Ia juga menulis banyak novel. Dengan bukunya Kenya Tirta Gangga ia memenangkan hadiah novel terbaik dari Panyebar Semangat pada tahun 1958.
Setelah tahun 1960, sejumlah penulis muda, yang oleh Suripan disebut Angkatan Penerus, mulai tampil ke depan. Mereka lahir di antara tahun 1935 dan 1945. Salah seorang penulis yang terkemuka dari kelompok ini adalah Esmiet, seorang guru yang lahir di Mojokerto tahun 1938. Esmiet seorang penulis cerita pendek yang sangat produktif, tetapi juga menulis puisi dan novel. Novel pada masa permulaannya dapat kita sebutkan Oyot Mimang (JB, 1966), Rokok Kretek Bale Kembang (PS, 1970). Novelnya terbaru berjudul Tunggak-Tunggak Jati (Jakarta, 1977).
Kurun waktu setelah tahun 1966 mulai dengan eksplosi roman panglipur wuyung atau “roman picisan”. Roman panglipur wuyung adalah buku kecil ukuran buku saku. Umumnya buku itu buruk mutu cetakannya dan dijual dengan harga murah. Isinya kerap kali terbatas pada kisah-kisah cinta atau tema-tema menggelitik. Akan tetapi, bukanlah tema, ukuran serta kualitas kertas percetakannya atau harga penjualan yang menentukan mutu sastra sebuah buku, melainkan cara pengarang menggarap temanya, menggunakan bahasa, dan kecermatan dalam gaya dan komposisi. Itulah yang tetap menjadi kriterium apakah sebuah buku harus dicap sebagai “roman picisan” atau bacaan kelas rendahan.
Eksplosi roman picisan berlangsung dari tahun 1964 sampai tahun 1968, dan memuncak pada tahun 1966. Tahun 1970 gelombang ini telah surut dan hampir-hampir tidak ada buku kecil lagi yang dicetak. Para penerbit menyatakan bahwa mencetak buku-buku kecil semacam ini pada saat ini tidak menguntungkan, tetapi mereka sudah dan akan selalu berkata demikian, bila hal itu dapat dipakai sebagai dalih untuk mengurangi honorarium pengarang. Pihak lain mengatakan bahwa penghapusan subsidi kertas menjadi pukulan besar bagi pasaran buku. Akan tetapi, mungkin pula ada kejadian lain lagi yang mempunyai pengaruh besar. Sesuatu mencolok mata ialah kuatnya perkembangan pers bahasa Jawa yang mulai sejak tahun 1966.
Penulis-penulis yang termasuk angkatan 1966 adalah Jaka Lelana, Lahir di Blitar 1944, yang menulis puisi, cerita pendek, dan novel; Wahyu Jatmika dan Suwarno Pragolapati, penulis cerita pendek dan novel; kemudian Suwaji yang lahir di Blitar tahun 1946, S. Warsa Warsadi lahir di Surakarta tahun 1951, Hartana Kadarsana, lahir di Madiun tahun 1940 dan Ardian Syamsudin, semuanya penulis puisi dan cerita pendek.



Daftar Pustaka

Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.

2 komentar:

  1. maafkan jika banyak kesalahan dalam postingan ini.

    BalasHapus
  2. Woori Casino No Deposit Bonus 2021 | Free Play in Demo
    Woori Casino offers a herzamanindir variety of free spins worrione.com and no deposit herzamanindir.com/ bonuses, as 나비효과 well as regular https://octcasino.com/ promotions. As you can't claim this offer without being registered

    BalasHapus