PERKEMBANGAN
PROSA JAWA MODERN
Oleh:
Anisatun
Nikmah
Prosa
Sebagai Bagian dari Sastra Jawa
Sebelum
masuk ke perkembangan prosa Jawa modern, lebih dahulu kita membahas apa yang
dinamakan dengan prosa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, prosa merupakan
salah satu jenis karya sastra karangan berbentuk narasi dan tidak terikat oleh
kaidah yang terdapat dalam puisi. Kita
tahu bahwa ada 3 jenis karya sastra, diantaranya adalah puisi, drama, dan
prosa. Karya sastra prosa antara lain dongeng, cerita rakyat, novel, roman,
biografi, dan lain-lain. Menurut Altenbernd dan Lewis (1996:14) fiksi diartikan
sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung
kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antara manusia.
Prosa
seperti novel, cerita pendek, esai adalah salah satu bahan bacaan yang
merupakan bagian dari sastra Jawa. Perkembangan sastra modern di Jawa bisa
dibilang cukup lambat karena genre-genre baru masih ada hubungannya dengan
dunia Barat yang belum bisa diterima oleh masyarakat Jawa. Pada abad ke-19 di
pulau Jawa, hubungan-hubungan intelektual dengan bangsa Eropa mengakibatkan penulisan
beberapa karangan yang ada di luar lingkup sastra tradisional.
Awal
Mula Perkembangan Prosa Jawa Modern
Pada
tahun 1832 sampai 1843 di Instituut voor
de Javaansche Taal Surakarta, C.F. winter menghasilkan naskah-naskah yang
ditulis di bawah pengawasannya dengan tujuan menyediakan bahan bacaan yang agak
mudah bagi pelajaran bahasa Jawa, yaitu dalam versi prosa Jawa atau beberapa
karya klasik dalam tembang macapat. Hal tersebut memberi perangsang untuk menyusun
naskah-naskah berisi cerita baru yang terlepas dari kaidah sastra klasik. Suatu
contoh buku demikian adalah (Cariyos Bab)
Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwa
Lelana (Batavia, 1865) karangan M.A. Candranegara, Bupati Demak. Karya
tersebut merupakan kisah perjalanan dalam prosa, ditulis dengan gaya
jurnalistik, dan dimaksudkan untuk tujuan pendidikan. Contoh-contoh lain
tentang karya-karya yang ada di luar tradisi sastra klasik adalah biografi
Ranggawarsita yang ditulis oleh Padmasusastra atas anjuran D. van Hinloopen
Labberton. Kemudian autobiografi Suradipura, sekretaris G.A.J. Hazeu, dan Serat Raga Pasaja, yang ditulis dalam
bentuk prosa dengan bahasa Jawa ngoko
yang informal oleh Raden Sasrakusuma.
Sebuah
karangan yang mungkin secara tidak langsung diilhami oleh ide-ide Eropa ialah
kisah panjang yang ditulis oleh Soma Raja, ketika di situ suatu pemberontakan
melawan Belanda sedang direncanakan, tetapi dapat dibasmi. Perjalanannya itu
diteruskan melalui Semarang ke Surabaya dan berakhir di Bangkalan (Madura).
Tema ini bukannya tidak lazim dalam sastra Jawa, tetapi yang membuatnya menarik
ialah karena tertulis dalam bentuk prosa serta dalam bahasa Jawa ngoko pula.
Padmasusastra
adalah tokoh penting dalam pengajaran bahasa Jawa sekitar tahun 1900. Sebagai
seorang pendidik Padmasusastra juga telah berjasa dengan menghasilkan “bahan
bacaan” dalam bentuk prosa. Hasil pertama dari usahanya adalah saduran yang
dibuatnya dari karya Surya Wijaya, Randa Guna Wecana, yang dipersiapkan untuk
D.F. van der Pant (Serat Durcara Arja,
Tijdschrift Batav, Genootschap vol. 31, 1886), yang kemudian diterbitkan kembali oleh Balai
Pustaka (no.11, 1911). Karyanya yang belakangan, Serat Rangsan Tuban, sebuah novel kebatinan merupakan karya yang populer.
Namun
pada masa awal penulisan sastra nontradisional terutama cerita fiksi dalam bentuk
prosa yang semata-mata hanya untuk hiburan saja tampaknya belum disenangi dan
masih harus menempuh perjalanan panjang. Dengan demikian, barangkali selain Serat Rangsan Tuban, belum ada di antara
karya lain yang dapat dianggap sebagai novel pada masa itu.
Novel
merupakan genre sastra yang di negeri Barat pun mengalami perkembangan yang
sangat panjang. Tradisi penulisan novel yang subur hanya mungkin terjadi
apabila terdapat sekelompok penulis novel berbakat dan kreatif, sejumlah
penerbit dan percetakan yang kuat keuangannya, aparat distribusi yang berjalan
dengan lancer dan mungkin yang paling penting dari semua itu adalah masyarakat
pembaca yang cukup luas dan mau menyisihkan uang mereka untuk bacaan itu
sehingga secara ekonomis semua itu berjalan cukup lancar. Namun pada
kenyataannya syarat tersebut tidak terpenuhi ketika novel diperkenalkan di Jawa.
Genre inni baru timbul ketika sebuah badan penerbit milik pemerintah yaitu Balai Pustaka telah mulai memberi
rangsangan terhadaan penulisan cerita
yang dapat dijadikan bahan bacaan yang bermanfaat bagi rakyat dengan menaruhnya
di perpustakaan-perpustakaan sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
genre Barat ini masuk ke dalam sastra Jawa sejalan dengan masuknya pengajaran
Eropa ke dalam masyarakat Jawa. Banyak di antara para pengarangnya adalah
seorang guru, dan banyak di antara pembacanya adalah murid pada sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Eropa.
Peranan
Balai Pustaka sebagai badan penerbit yang menyediakan kebutuhan sekolah itu
dimulai pada tahun 1911. Di antara penerbitan-penerbitan pertama Balai Pustaka,
kita jumpai terutama buku-buku dengan unsur-unsur fiksi yang dipadu dengan
kecenderungan ditaktik atau ajaran moral yang jelas. Buku yang jelas hanya
mementingkan ajaran moral dan belum banyak mempunyai arti sastra adalah karya
Prawirasudirja, Serat Panutan (BP
136, 1913, 96 hlm.) dan Isin Ngaku Bapa
(BP 306, 1918, 84 hlm.). Karya Kuswadiarja, Rara
Kandreman (BP 183, 1916, 33 hlm.), adalah sebuah fabel, seperti karya
Adisusastra, Kartimaya (BP 235, 1917,
135 hlm.).
Sebuah
buku kecil yang menunjukkan kelemahan orientasi Balai Pustaka dalam periode
awal ini adalah karya Sindupranata, Lelakone
Amir (BP 270, 1918, 43 hlm., L), sebuah kisah mengenai seorang anak yatim
piatu yang memang bagus penulisannya, tetapi jelas ditujukan pada masyarakat
pembaca anak sekolah. Karya R. Siswawinata, Margining Kautaman (BP 370, 1919,
136 hlm., L), tentang istri bupati yang baik hati, lagi-lagi mengemukakan
ajaran moral.
Semua
buku kecil ini ditujukan pada anak sekolah dan masyarakat desa yang sederhana,
yang harus diberi bahan bacaan yang sifatnya mendidik. Mutunya kerap kali
mendekati “buku budi pekerti” dari tahun-tahun sebelum 1940 di negeri-negeri
Barat. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau para ahli sastra Jawa tidak
dapat menerimanya sebagai sastra, bahkan menganggapnya tidak lebih dari buku bacaan saja, sedang yang dianggap
sebagai hanyalah hasil-hasil tertulis
sastra lisan tradisional dalam bentuk tembang macapat. Namun bagi kita mungkin
buku-buku tersebut terlihat menarik karena menunjukkan betapa lamban dan sulit
proses berakarnya suau genre sastra Barat yang terdiri dari cerita-cerita untuk
dibaca dan bukannya untuk “didengar”.
Dengan
diterbitkannya novel karya R. Sulardi yang berjudul Serat Riyanta (BP 432,
1920, 139 hlm.), mulailah periode baru. Novel tersebut adalah buku yang tidak
dirusakkan oleh kecenderungan diktaktik ajaran moral. Serat Riyanta bercerita tentang masalah pemberontakan generasi muda
perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Terlepas dari cerita itu, Serat Riyanta juga menarik sebagai
lukisan masyarakat bangsawan Surakarta pada awal abad kedua puluh.
Banyak
buku-buku terbit setelah kemunculan Serat
Riyanta terutama dalam bentuk prosa diantaranya adalah Buku Jayengutara, Mitra Musibat (BP 580, 1921,87
hlm.), kemudian Yasawidagda, Jarot (terdiri dari dua bagian: BP 404,
1922, 81 hlm. dan 404a, 1931, 107 hlm.). Yasawidagda adalah penulis berbakat
serta termasuk yang paling produktif dari periode setelah tahun 1920. Selain
dari dua pengarang tersebut masih ada buku berjudul Mrojol Selaning Garu (BP 414, 1922, 86 hlm.) karya Sasraharsana.
Kemudian Kamsa, Supraba lan Suminten
(BP 636, 1923, 167 hlm.), Tubiran Yatawiharja, Kontrolir Sadiman (BP 654 1924, 46 hlm.) hingga Suratman
Sastradiarja, Sukaca (BP 519, 1926,
44 hlm.).
Penulis
terbaik dari kurun waktu 1925-1930 adalah Asmawinangun. Ia tidaklah luar biasa
dalam pemilihan tema namun karena dia pandai melukiskan suasana,
dialog-dialognya hidup, dan bahasanya yang enak berhasil mencekam para
pembacanya. Diantara karyanya yang terkenal adalah Jejodoan Ingkang Siyal (BP 755, 1926, 115 hlm., L), kemudian Saking Papa Dumugi Mulya (BP 782, 1928,
141 hlm., L), Mungsuh Mungging Cangklakan
(BP 824, 1929, 131 hlm., L), dan Pepisahan
Pitulikur Taun (BP 870, 1929, 120 hlm., L).
Selama
tahun tiga puluhan, perkembangan yang dimulai dalam periode sebe;umnya berjalan
terus, tidak berhenti atau berubah banyak. Para penulis tetap menggunakan tema
perselisihan antara generasi tua dan generasi muda, baik karena pandangan yang
berbeda mengenai pemilihan teman hidup maupun karier pilihan anaknya;
selanjutnya akibat-akibat menyedihkan dari kawin paksa, beristri dua, sifat
manja karena salah asuhan, atau kesukaan berjudi; penderitaan yang disebabkan
oleh terjadinya musibah, retaknya keluarga, atau dibesarkan sebagai anak yatim
piatu; pengalaman selama hidup terasing dari tempat kelahiran, baik secara
disengaja maupun dipaksa, dan, akhirnya tentang kejahatan dan pembongkarannya.
Penggunaan
huruf Latin, yang mula-mula hanya
dilakukan pada buku untuk anak-anak, seperti karya Sindupranata, Lelakone Amir (1918), dan dalam buku-buku
yang bersifat jurnalistik, seperti karya Yitnasastra, Kisah Layaran dating Pulo Papuwah (1919), menjadi lebih umum
sekitar tahun 1925, Bahasa Jawa ngoko
sejak awal mula umum digunakan untuk buku-buku anak-anak: Sindupranata (1918),
Suratman Sastradiarja (1923, 1928, 1928), Sastrasutiksna (1925), Kamsa
Wiryasaksana (1926), dan Kamit Nataasmara (1927, 1929, 1932). Maka ketika
Kusumadigda (1928) dan Sukarna (1929) juga memilih gaya ngoko ini dalam buku-buku yang ditulisnya untuk pembaca yang lebih
dewasa, buku-buku yang dimaksud sebagai sastra, itu merupakan pembaruan yang
penting. Setelah tahun 1930, contoh ini lama-lama diikuti oleh jumlah penulis
yang semakin bertambah, sehingga setelah tahun 1960 penggunaan bahasa krama di dalam cerita prosa merupakan
perkecualian yang langka.
Penyusunan
plot yang baik masih saja merupakan kesulitan bagi setengah penulis. Akibatnya,
banyak buku yang tetap hanya “cerita” saja tentang suatu peristiwa yang menarik
hati sang penulis serta yang dianggapnya patut diceritakan kepada masyarakat
luas. Akan tetapi, cerita semacam ini biasanya cepat selesai dan akibatnya
buku-buku seperti itu umumnya hanya kecil-kecil.
Fasilitas
penerbitan dan distribusi yang diberikan oleh Balai Pustaka merupakan faktor
yang sangat penting dalam perkembangan cerita prosa modern. Orang dapat
mengatakan bahwa sastra modern yang sedang tumbuh itu ditopang oleh badan
penerbit pemerintah ini dalam tahun 1911-1941. Penerbitan dan percetakan
swasta, seperti Tan Khoen Swie di Kediri, Mardi Mulya di Yogyakarta, Siti
Syamsiah, Rusche, Sadur Budi, Kalimasada, dan Mars di Surakarta, Van Dorp di
Semarang, dan G. Kolff & Co di Surabaya, tidak aktif di bidang ini, dan
baru setelah 1933 Panyebar Semangat
di Surabaya mulai memainkan peranannya.
Dari
tahun 1935 majalah Panyebar Semangat menerbitkan dalam bentuk cerita bersambung
sejumlah novel yang dapat diperbandingkan dengan yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Sekitar tahun 1936 jenis cerita pendek muncul dalam Kejawen dan Panyebar Semangat. Dalam Kejawen dimuat secara anonym, seperti
kebanyakan sumbangan-sumbangan tulisan lainnya dalam majalah ini. Dalam Panyebar Semangat, genre ini kerap kali
digunakan untuk tema-tema dengan kecenderungan nasionalisme, dan sebagian besar
pengarangnya lebih suka menggunakan nama samaran.
Selama
pendudukan Jepang, penerbitan Kejawen dan
Panyebar Semangat dihentikan. Satu-satunya medium yang masih ada adalah
Panji Pustaka, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dari tahun 1943 majalah ini terbit dengan
lampiran berbahasa Jawa dan Sunda. Dua orang penulis muda yang tampil dalam
periode ini ialah: Purwadhie Atmadiharja dan Subagya Ilham Natadijaya
(Soebagijo I.N.). Mereka inilah yang menjadi pelopor generasi penulis cerita
pendek dari masa sesudah Perang.
Sastra
Modern sesudah 1945
Pertumbuhan
ke arah kedewasaan sastra modern mulai sesudah tahun 1950, ketika perjuangan
untuk kemerdekaan telah selesai, sementara kondisi social dan politik masih
berkembang. Suripan membedakan tiga periode pokok dalam sejarah sastra Jawa
modern, yaitu:
I.
1920-1945 periode Balai Pustaka: genre novel diutamakan;
II.
1945-1966 periode perkembangan bebas: di samping novel juga cerita pendek dan
puisi bebas dikembangkan sebagai genre penting; perkembangan sastra didukung
oleh tiga generasi penulis;
a)
Angkatan Kasepuhan (telah tampil sebelum tahun 1945), b) Angkatan Perintis
(tampil tahun 1945 dan sesudahnya); c) Angkatan Penerus (tampil tahun 1960 dan
sesudahnya).
III.
1966-sekarang periode sastra majalah: eksplosi roman panglipur wuyung diikuti oleh peranan majalah-majalah berbahasa Jawa
menjadi saluran publikasi terpenting; Angkatan 1966 tampil: generasi penulis
yang lahir setelah tahun 1939.
Bagian
pertama periode 1945-1966 dikuasai oleh generasi penulis tua. Baik dari segi
komposisi maupun gaya, karya mereka pada umumnya sesuai dengan tradisi Balai
Pustaka dari masa sebelum 1942. Akan tetapi, sejak tahun 1945 semua buku dan
majalah dicetak dalam huruf Latin. Penulis-penuis yang termasuk kelompok ini
adalah sebagai berikut: Th. Surata dengan novel O, Anakku….. (BP 1874, 1952,92 hlm.), R. Harjawiraga dengan Sri Kuning (BP 1933, 1953, 136 hlm.),
Senggana dengan karyanya yaitu Kembang
Kantil (BP 2008, 1957, 179 hlm.). pada tahun itu juga Senggana juga
menerbitkan novel lainnya dalam Jaya Baya
(JB) dengan judul Wahyu Saka Kubur
(JB, 1957). Kemudian ada Sri Hadijaya yang merupakan penulis paling produktif
dari Angkatan Kasepuhan ini, tetapi harus diakui pula bahwa gaya bahasa dan
komposisi cerita-ceritanya kadang merosot ke tingkat yang agak rendah. Ia
menulis Jodo Kang Pinasti (BP 1882,
1952, 88 hlm.), kemudian Priyayi Saka
Transmigrasi (PS,1956), Serat Gerilya
Sala (BP 1978, 1958, 63 hlm.), Wasisan
(PS, 1958), Wahyuning Wahyu Jatmika
(PS, 1958), dan Napak Tilas (PS,
1960). Di samping buku-buku ini, ia juga menulis cerita pendek dan sejumlah
“roman picisan”.
Para
penulis muda dari generasi sesudah Perang sebagian besar terlibat aktif dalam
pendidikan, pers, dan radio. Generasi ini yang oleh suripan disebut Angkatan
Perintis atau “Generasi Pelopor” – dipimpin oleh Subagiya Ilham Natadijaya yang
lahir di Blitar pada tahun 1924. Tokoh yang paling tua di antara
pengarang-pengarang Angkatan Perintis adalah Any Asmara (Achmad Ngubaini
Ranuasmara), yang lahir di Banyumas tahun 1913. Ia adalah seorang otodidak dan
akhirnya menjadi penulis yang sangat produktif dan telah menerbitkan banyak
sekali cerita pendek dalam semua majalah berbahasa Jawa. Ia juga menulis banyak
novel. Dengan bukunya Kenya Tirta Gangga ia memenangkan hadiah novel terbaik
dari Panyebar Semangat pada tahun 1958.
Setelah tahun 1960,
sejumlah penulis muda, yang oleh Suripan disebut Angkatan Penerus, mulai tampil
ke depan. Mereka lahir di antara tahun 1935 dan 1945. Salah seorang penulis
yang terkemuka dari kelompok ini adalah Esmiet, seorang guru yang lahir di
Mojokerto tahun 1938. Esmiet seorang penulis cerita pendek yang sangat
produktif, tetapi juga menulis puisi dan novel. Novel pada masa permulaannya dapat
kita sebutkan Oyot Mimang (JB, 1966),
Rokok Kretek Bale Kembang (PS, 1970).
Novelnya terbaru berjudul Tunggak-Tunggak
Jati (Jakarta, 1977).
Kurun
waktu setelah tahun 1966 mulai dengan eksplosi roman panglipur wuyung atau “roman picisan”. Roman panglipur wuyung
adalah buku kecil ukuran buku saku. Umumnya buku itu buruk mutu cetakannya dan
dijual dengan harga murah. Isinya kerap kali terbatas pada kisah-kisah cinta
atau tema-tema menggelitik. Akan tetapi, bukanlah tema, ukuran serta kualitas
kertas percetakannya atau harga penjualan yang menentukan mutu sastra sebuah
buku, melainkan cara pengarang menggarap temanya, menggunakan bahasa, dan
kecermatan dalam gaya dan komposisi. Itulah yang tetap menjadi kriterium apakah
sebuah buku harus dicap sebagai “roman picisan” atau bacaan kelas rendahan.
Eksplosi
roman picisan berlangsung dari tahun 1964 sampai tahun 1968, dan memuncak pada
tahun 1966. Tahun 1970 gelombang ini telah surut dan hampir-hampir tidak ada
buku kecil lagi yang dicetak. Para penerbit menyatakan bahwa mencetak buku-buku
kecil semacam ini pada saat ini tidak menguntungkan, tetapi mereka sudah dan
akan selalu berkata demikian, bila hal itu dapat dipakai sebagai dalih untuk
mengurangi honorarium pengarang. Pihak lain mengatakan bahwa penghapusan
subsidi kertas menjadi pukulan besar bagi pasaran buku. Akan tetapi, mungkin
pula ada kejadian lain lagi yang mempunyai pengaruh besar. Sesuatu mencolok
mata ialah kuatnya perkembangan pers bahasa Jawa yang mulai sejak tahun 1966.
Penulis-penulis
yang termasuk angkatan 1966 adalah Jaka Lelana, Lahir di Blitar 1944, yang
menulis puisi, cerita pendek, dan novel; Wahyu Jatmika dan Suwarno Pragolapati,
penulis cerita pendek dan novel; kemudian Suwaji yang lahir di Blitar tahun
1946, S. Warsa Warsadi lahir di Surakarta tahun 1951, Hartana Kadarsana, lahir
di Madiun tahun 1940 dan Ardian Syamsudin, semuanya penulis puisi dan cerita
pendek.
Daftar Pustaka
Ras, J.J. 1985. Bunga
Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.
maafkan jika banyak kesalahan dalam postingan ini.
BalasHapusWoori Casino No Deposit Bonus 2021 | Free Play in Demo
BalasHapusWoori Casino offers a herzamanindir variety of free spins worrione.com and no deposit herzamanindir.com/ bonuses, as 나비효과 well as regular https://octcasino.com/ promotions. As you can't claim this offer without being registered