Sabtu, 05 Agustus 2017

HUBUNGAN BAHASA DAN TINGKATAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM NOVEL KATRESNAN KARYA SOERATMAN SASTRADIARDJA




HUBUNGAN BAHASA DAN TINGKATAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM NOVEL KATRESNAN KARYA SOERATMAN SASTRADIARDJA
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Nur Fateah



Oleh:

Nama       : Anisatun Nikmah
NIM  : 2601415036
Makul: Sosiolinguistik






FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017


ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan bahasa Jawa pada tokoh-tokoh novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja, dan (2) menganalisis keterkaitan antara bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja dengan tingkatan sosial masyarakatnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodek kualitatif deskriptif. Objek penelitian ini adalah novel berbahasa Jawa berjudul “Katresnan” karya Soeratman Sastradiardja. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, teknik simak dan catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca pemahaman novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja kemudian mencari data sesuai dengan judul yang telah ada hingga menemukan data yang valid.
Berdasarkan hasil analisis penelitian yang dilakukan penulis, penggunaan bahasa pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja adalah bahasa Jawa dengan ragamnya yaitu ngoko dan krama. Hubungan antara bahasa dengan tingkat sosial masyarakat dapat dilihat dari cara menuturkan tingkat tuturan atau undha-usuk atau unggah-ungguh basa yang benar. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko.
Kata Kunci: Tingkatan Sosial, Tingkatan Bahasa, Ragam Bahasa.



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia pasti membutuhkan orang lain untuk berinteraksi, berkomunikasi, mendapatkan informasi. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah manusia mempunyai akal dan pikiran sehingga mempunyai bahasa sedangkan makhluk hidup lain tidak. Itulah yang diartikan bahwa bahasa itu manusiawi, jadi yang mempunyai bahasa hanyalah manusia.
Dalam kondisi masyarakat sosial terutama masyarakat Jawa sangat memperhatikan cara berbahasa atau cara bertutur menggunakan bahasa Jawa dengan mitra tuturnya. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor apabila berhubungan dengan orang lain. Orang yang bersikap andhap asor akan ditinggikan atau dihormati oleh orang lain. Sebaliknya orang merendahkan orang lain dan tidak menunjukkan rasa hormat kepada orang lain baik dalam bertuturkata maupun bertindak ia akan dianggap tinggi hati.
Orang Jawa selalu dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara. Dalam berbicara seseorang harus mempertimbangkan apa yang dibicarakan, kepada siapa, tentang apa, dimana, dalam keadaan apa, dan bagaimana cara bicaranya agar tidak terjadi konflik, agar suasana yang harmonis, selaras, tenteram terpelihara. Bagi orang Jawa kebenaran mengenai sesuatu sikap dan tindakan itu relatif. Artinya, baik atau benar pada suatu waktu, tempat atau bagi orang lain dapat menjadi tidak benar atau tidak baik bila diterapkan pada waktu, tempat atau pada orang lain.
Dalam pergaulan sehari-hari konsep empan papan secara tidak disadari telah diwujudkan dalam komunikasi verbal di masyarakat. Dalam komunikasi sehari-hari pembicara harus memilih ragam bahasa atau tingkat tutur yang tepat. Tingkat tutur yang dipilih harus sesuai dengan kedudukan diri sendiri dan kedudukan mitra bicara. Kesalahan pemilihan tingkat tutur bisa menjadikan suasana tidak nyaman, bahkan bisa dicap tidak baik atau tidak pantas, atau dicap njangkar atau kurang ajar.
Dalam kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan, maka objek atau media yang digunakan adalah novel Jawa berjudul Katresnan dan terfokus pada tuturan tokoh-tokoh yang ada dalam novel tersebut. Adapun alasan peneliti memilih topik ini karena tutur yang digunakan dalam novel ini menggunakan ragam bahasa Jawa yang baik dan kemungkinan bahasa tersebut dipengaruhi oleh tingkatan sosial di dalam masyarakat sehingga menarik untuk dikaji.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana penggunaan bahasa Jawa pada tokoh-tokoh novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja?
1.2.2        Bagaimana keterkaitan antara bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja dengan tingkatan sosial masyarakatnya?
                                              
1.3  Tujuan
1.3.1    Mendeskripsikan penggunaan bahasa Jawa pada tokoh-tokoh novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja.
1.3.2                Mendeskripsikan keterkaitan antara bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja dengan tingkatan sosial masyarakatnya.



BAB II
LANDASAN TEORI
Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa teori yang relevan diantaranya adalah sebagai berikut.
2.1 Bahasa dan Tingkatan Sosial Masyarakat
Hubungan antara bahasa dengan masyarakat terletak pada hubungan antara bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan penggunaannya untuk fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat.
Adanya tingkatan sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi:  pertama, dari segi kebangsawanan, kalau ada; dan kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian yang baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikannya lebih baik, namun, taraf perekonomiannya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik.
Untuk melihat hubungan antara kebangsawanan dan bahasa, ada contoh yang bisa diambil dari masyarakat tutur bahasa Jawa. Kuntjaraningrat (1967:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat, yaitu (1) wong cilik, (2) wong saudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Sedangkan Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed) 1976) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat, yaitu (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan (3) petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Dari kedua penggolongan itu jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkat itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat dengan tingkat sosialnya. Jadi, bahasa atau ragam bahasa yang digunakan oleh kalangan wong cilik tidak sama dengan wong saudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialeg sosial; lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984).
Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam pertuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya jika wong cilik berbicara dengan priyayi atau ndara: atau petani yang tidak berpendidikan berbicara dengan ndara yang berpendidikan, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah undha usuk. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut undha usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa tersebut untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhdap mitra bicaranya. (Abdul Chaer: 39)
2.2  Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Tingkat tutur adalah variasi bahasa yang oleh perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap lawan bicar (Poedjasoedarma, 1973:3).
Menurut Harjawiyana dan Supriya (2001: 17-19) undha-usuk basa dapat dipilah menjadi dua, yaitu undha-usuk  basa di zaman kejawen dan undha-usuk basa di zaman modern. Undha-usuk zaman kejawen yang dimaksud adalah zaman Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat, sekitar tahun 1900 Masehi. Sedangkan undha-usuk di zaman modern ditandai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
     Undha-usuk bahasa Jawa di zaman kejawen mengenal enam tingkat tutur. Sedangkan udha-usuk di zaman modern mengenal dua tingkat tutur (Harjawiyana dan Supriya, 2001:18). Tingkat tutur tersebut adalah:
Undha-usuk basa di zaman kejawen
1.        Basa ngoko yaitu ada ngoko lugu dan ngoko andhap.
2.        Basa madya yaitu ada madya ngoko, madyantara, dan madya krama.
3.        Basa krama desa
4.        Basa krama yaitu mudha krama, kramantara, dan wredha krama.
5.        Basa krama inggil
6.        Basa kedhaton
Undha-usuk basa di zaman modern
1.      Basa ngoko, yaitu ada ngoko lugu dan ngoko alus.
2.      Basa krama, yaitu ada krama lugu dan krama alus.
2.3  Penerapan Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau undha-usuk basa atau unggah-ungguh basa. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan adat sopan santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun ini mencerminkan perilaku kebahasaan yang sebenarnya juga tercermin dari perilaku masyarakat.
2.3.1        Ngoko Lugu
Ngoko Lugu adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan kosakata ngoko termasuk kosakata netral. Afiks (imbuhan) juga tetap menggunakan afiks ngoko. Ragam ini digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab dann tidak ada usaha untuk saling menghormati. (Joko Sukoyo, 2013:13)
Contoh kalimat dengan penggunaan ragam ngoko lugu.
1)      Jaka mangan sate.
‘Jaka makan sate’
2)      Iwan seneng ngrungokake radhiyo.
‘Iwan senang mendengarkan radio’
3)      Kowe arep mangkat sekolah?
‘Kamu akan berangkat sekolah?’
            Ragam ngoko lugu digunakan untuk:
1)      Berkomunikasi dengan orang yang kedudukan atau statusnnya lebih rendah, misalnya antara guru dengan murid, orang tua denga anak, dan antara orang yang sudah akrab.
2)      Berkomunikasi yang sifatnya umum, misalnya pengumuman iklan, menawarkan barang, dan juga dapat digunakan dalam penulisan surat kabar.


2.3.2        Ngoko Alus
Ngoko alus adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang dasarnya adalah leksikon ngoko termasuk leksikon netral, namun juga menggunakan leksikon krama inggil, dan atau krama andhap. Ragam ngoko alus digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab, tetapi di antara mereka ada usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan Utami, 2001:47). Afiks yang digunakan adalah afiks ngoko, kecuali awalan kok-, dan akhiran –mu. Awalan kok- dan akhiran –mu diganti dengan kata panjenengan.
Harjawiyana dan Supriya (2001: 46-49) mengemukakan tentang konsep pembentukan ragam ngoko alus sebagai berikut:
1)        Leksikon ngoko untuk menghormati orang lain diganti menjadi leksikon krama inggil (apabila ada) kalau tidak ada maka tetap menggunakan leksikon ngoko tersebut.
2)        Leksikon ngoko yang berhubugan dengan diri pribadi walaupun memiliki leksikon krama inggil, tetap digunakan leksikon ngoko (tidak boleh menggunakan krama inggil untuk diri pribadi).
3)        Leksikon ngoko yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, walaupun memiliki kosakata krama inggil, maka tetap digunakan ngoko. Misalnya: “perkutut panjenengan nyuwun ngombe” ‘Perkututmu minta minum.’ Kalimat tersebut sudah benar, jangan sampai justru diganti menjadi “Perkutut panjenengan nyuwun unjukan.”
4)        Tidak digunakan leksikon krama, hanya krama inggil, krama andhap atau ngoko (termasuk leksikon netral) saja.
5)        Awalan, sisipan, akhiran tetap menggunakan ngoko, kecuali awalan kok-, dan akhiran –mu. Awalan kok- dan akhiran mu- diganti dengan kata panjenengan.
Contoh kalimat yang menggunakan ragam ngoko alus dapat dilihat di bawah ini.
1)      Pakdhe mengko arep tindak karo sapa?
‘Pakdhe nanti akan pergi dengan siapa?’
2)      Bapak dhahar bakso.
‘Bapak makan bakso.’
3)      Pak lurah sing anyar iku asmane sapa?
‘Pak lurah yant baru itu namanya siapa?’
                        Kalimat (1) menggunakan kata “tindak”. Kata tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Pakdhe. Kata “tindak” adalah bentuk krama inggil dari ngokolunga”, krama “kesah” ‘pergi.’ Pada kalimat (2) terdapat kata “dhahar”, yang merupakan bentuk krama inggil, sedangkan ngoko-nya adalah “mangan” dan krama-nya adalah “nedha”. Kalimat (3) menggunakan kata “asmane” menggunakan kata dasar “asma” dan akhiran –e. kata “asma” adalah leksikon krama inggil sedangkan leksikonnya ngoko adalah “jeneng” dan krama-nya adalah “nama”. Akhiran –e tetap, tidak diubah menjadi krama karena sesuai konsep pembentukan ragam ngoko alus, bahwa awalan, sisipan, dan akhiran tetap menggunakan ngoko, kecuali –mu dan kok- yang diubah menjadi kata “panjenengan”.
2.3.3        Krama Lugu
Krama lugu adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan leksikon krama, afiksnya juga menggunakan afiks krama. Krama lugu digunakan oleh peserta tutur yang belum atau tidak akrab, misalnya baru kenal. Kaidah pembentukan krama lugu sebagai berikut:
1)      Leksikon ngoko yang memiliki padanan dalam leksikon krama maka diubah menjadi leksikon krama, kecuali yang tidak memiliki leksikon krama, maka tetap menggunakan leksikon ngoko.
2)      Leksikon krama yang berhubungan dengan diri pribadi seandainya memiliki padanan dalam leksikon krama maka diubah menjadi krama.
3)      Afiks ngoko diubah menjadi krama, misalnya awalan di- diubah menjadi dipun-, awalan kok- diubah menjadi sampeyan, ater-ater dak- diubah menjadi kula.
4)      Leksikon yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan yang memiliki leksikon krama maka diubah menjadi krama (Harjawiyana dan Supriya, 2001: 46-49).
Contoh kalimat menggunakan ragam krama lugu.
1)      Sampeyan sampun nedha Pak?
‘Anda sudah makan Pak?’
2)      Samenika semah kula nyambut damel wonten Boyolali.
‘Sekarang istri saya bekerja di Boyolali’
3)      Sampun kalih dinten menika, Simbah sakit malaria.
‘Sudah dua hari ini, Kakek sakit malaria’
4)      Mas Danu dipunbektakaken apel kalih kilo dening Bapak.
‘Mas Danu dibawakan apel dua kilo oleh Bapak’
      Kalimat (1), (2), dan (3) adalah kalimat dengan ragam krama lugu karena semua leksikonnya menggunakan leksikon krama tanpa ada campuran leksikon ngoko maupun krama inggil. Kalimat (4) juga termasuk ragam krama lugu karena semua leksikonnya menggunakan leksikon krama. Termasuk kata dipunbektakaken ‘dibawakan’. Kata tersebut merupakan kata jadian dari kata dasar “bekta” mendapat awalan dipun- dan akhiran –aken. Sesuai konsep pembentukan ragam krama lugu, bahwa afiks menggunakan ragam krama, sehingga kata dipunbektakaken sudah tepat. Seandainya diubah menjadi dibektakake justru keliru karena awalan dan akhiran menggunakan ngoko.
2.3.4        Krama Alus
Ragam krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama, krama inggil, dan krama andhap. Meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya, dan ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur krama alus (Sasangka, 2004:111)
Harjawiyana dan Supriya (2001:98-101) menjelaskan tentang kaidah pembentukan ragam krama alus, sebagai berikut:
1)      Leksikon ngoko yang memiliki padanan kata krama inggil maka diubah menjadi krama inggil, kecuali yang berhubungan dengan diri pribadi tetap menggunakan krama.
2)      Apabila leksikon ngoko tidak mempunyai padanan dalam leksikon krama inggil, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah manjadi krama saja.
3)      Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, maupun krama, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon ngoko maka diubah menjadi ngoko.
4)      Semua afiks diubah menjadi krama. Misalnya di- menjadi dipun-, kok- menjadi panjenengan. Akhiran –e diubah menjadi –ipun, -en diubah menjadi panjenengan.
Contoh kalimat menggunakan ragam krama alus:
1)      Menika wangkingan kagunganipun sinten?
‘Ini keris milik siapa?’
2)      Bapak gerah sampun tigang dinten menika.
‘Bapak sakit sudah tiga hari ini.’
3)      Jam 4 enjang kalawau, simbah sampun wungu.
‘Jam 4 pagi tadi, Kakek sudah bangun.’
4)      Ibu sampun dhangan saking gerahipun.
‘Ibu sudah sembuh dari sakitnya.’




BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Jenis Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodek kualitatif deskriptif.
3.2  Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah novel berbahasa Jawa berjudul “Katresnan” karya Soeratman Sastradiardja.
3.3  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, teknik simak dan catat.
3.4  Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca pemahaman novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja kemudian mencari data sesuai dengan judul yang telah ada hingga menemukan data yang valid.



BAB IV
PEMBAHASAN
2.4  Sinopsis Novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja
Novel Katresnan nyariosaken perjuanganipun Mursiati anggenipun nggayuh kekarepanipun. Saking HIS Mursiati inggih menika tiyang estri ingkang sregep sinau. Nalika badhe lulus Mursiati sampun menggalih badhe nerusaken sekolahipun ing MULO ananging boten dipunparengaken dening bapakipun kanthi alesan bilih tiyang estri menika tamat HIS lak nggih sampun cekap. Lha wong ingkang pados sandhang pangan mangke inggih tiyang jaler. Tiyang estri namung manut tiyang kakung kemawon.
Senajan dipunlarang dening bapakipun ananging Mursiati tetep kukuh anggenipun badhe nerusaken ing MULO. Kekarepanipun Mursiati ugi dipunsengkuyung lan dipunsarujuki gurunipun. Amargi Mursiati pancen bocah ingkang wasis.
Cekakipun cariyos, Mursiati pikantuk beasiswa sekolah MULO saengga tiyang sepuhipun namung nambahi sekedhik anggenipun maringi arta. Nalika ing MULO Mursiati asring kintun surat kaliyan kancanipun ingkang nama Sutrisna. Sutrisna inggih menika kancanipun nalika HIS. Sadangunipun sami kintun surat, kekalihipun ugi tuwuh raos tresna. Nalika badhe wonten dinten libur, kekalihipun wangsul sesarengan. Kepanggih ing setatsiun Madiun.
Dalu menika Sutrisna kaliyan ibunipun gineman bab jejodhoan. Ing rencananipun Sutresna badhe dipunjodhohaken kaliyan wanita pilihanipun ibunipun ingkang taksih sedherekipun ananging Sutresna mratandhani bilih manahipun sampun sreg kaliyan wanita sanes.  Lajeng ngenjangipun Mursiati mampir dolan ing dalemipun Sutrisna. Ibunipun sutrisna sampun mangertosi bilih Mursiati inggih menika wanita ingkang dipunremeni dening putranipun lan sarujuk menawi badhe nglamar Mursiati.
Sasampunipun lulus saking MULO, Mursiati lajeng nyambut damel ing kantor pos Madiun. Sadangunipun nyambut damel, bapakipun ngersakaken Mursiati nikah. Ananging Mursiati taksih nengga panglamaripun Sutrisna senajan kathah ingkang nglamar Mursiati. Panglamaripun ibunipun Sutrisna dipuntulak dening bapakipun Mursiati amargi sampun nyarujuki paglamar saking Tulungagung. Mangertosi kahanan kados mekaten, Sutrisna sakit sanget. Saya dangu saya sakit ngantos ,mandheg saking pendamelanipun. Mursiati ingkang mangertosi kahanan Sutrisna uga ndherek sakit.
Ananging sasampunipun mangertosi bilih kekalihipun taksih sami tresna tinesran, banjur Sutrisna mari saking sakitipun. Lajeng nyusul Mursiati dhateng ing Madiun saperlu kepanggih Mursiati senajan kahanan badanipun derng saestu sehat.
Anggenipun lelampahan dhateng Madiun kathah sanget pambeng ingkang dipunalami dening Sutrisna. Awit kecopetan, lajeng kedah mlampah saking Sala dhateng Madiun amargi boten gadhah arta malih. Lajeng ing margi ugi kepanggih kaliyan begal ngantos kejegur ing lepen, kudanan, sandhanganipun teles amargi kudanan ugi. Badanipun tatu lan keselipun boten jamak. Sutrisna lajeng dipunopeni dening kaonderan ngantos sedasa dinten, sasampunipun nglajengaken dhateng Madiun saperlu kepanggih Mursiati.
Cekakipun cariyos, Mursiati nulak nikah kaliyan tiyang Tulungagung. Mursiati tetep milih tiyang jaler ingkang dipuntresnani inggih menika Sutrisna. Kekalihipun lajeng amemangun kulawarga ingkang harmonis.
2.5  Penggunaan Bahasa Jawa pada Novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja
Bahasa yang digunakan dalam novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja adalah bahasa Jawa dengan ragam ngoko dan krama sesuai dengan pemakaiannya.
a.      Dialog antara Mursiati dengan Bapaknya
Berikut ini adalah cuplikan yang menunjukkan ragam bahasa Jawa yang digunakan. (halaman 14)
 
”Kados pundi, Bapak, kanca kula lare estri sami nerusaken sinau. Saiba isin kula upami boten saged nimbangi. Punapa malih kula sampun matur dhateng guru kula, yen badhe nglebeti MULO.”
Bapakne mangsuli, “Senajan atimu karep, ananging wong kowe wis gedhe, ora patut sinawang. Ora kliwat iya kudu narima tamat HIS bae.”
“O, Bapak sampun nggalih bilih kanca kula ingkang sami nerusaken sinau punika langkung alit tinimbang kula. Malah kathah ingkang nglangkungi kula menggah umur utawi agengipun.”
“Iya Ndhuk, satemene iya ora kurang-kurang bocah wadon kang gedhene ngungkuli kowe isih padha sekolah. ananging kabeh mau rak anake wong kang padha bisa ngragadi. Weruha, adhimu lanang-lanang akeh, iku kabeh iseh kudu ngragadi. Mulane aja dadi gelaning atimu, dene aku ora bisa nutugi karepmu.”…
                                    Dari kutipan novel di atas dapat dilihat bahwa saat Mursiati berbicara dengan bapaknya, ragam bahasa Jawa yang digunakan adalah ragam bahasa Jawa krama alus. Sedangkan saat bapak menjawab Mursiati, bahasa yang digunakan oleh bapaknya adalah ragam bahasa Jawa ngoko lugu.
b.      Percakapan antara Mursiati dengan Adiknya
 ...
Sumardi semune ora pati ngandel marang dongeng mau, mulane banjur mbantah, “Lo, Yu, jare tlaga Ngebel iku dhek biyen kawahe Gunung Wilis. Ing sarehne wis mati, ora metu genine maneh, banjur isi banyu saka tuk ing sakiwa-tengene. Lah iku dongeng aneh mangkono. Aku kok ora pati ngandel.”
“Iya, satemene bener kandhamu iku, ananging wong iku mung dongen bae, dadi iya aja kokkira yen ana temenan. Ananging kowe aja pisan-pisan nyepelekake dongeng kang mangkono mau sapanunggalane. …” (halaman 21)
                                    Kutipan di atas menunjukkan pemakaian bahasa Jawa ragam ngoko lugu. Biasanya ragam ini digunakan berkomunikasi dengan orang yang kedudukan atau statusnnya lebih rendah, misalnya antara guru dengan murid, orang tua dengan anak, dan antara orang yang sudah akrab. Mursiati menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko lugu karena status sosialnya lebih tinggi dari pada adiknya. Sedangkan adiknya juga menggunakan ragam ngoko lugu karena sebagai bukti keakraban antara adik dan kakak.
c.       Pembicaraan antara Mursiati dengan temannya, Sundari
Sarampunge maca, Sundari tumenga marang Mur karo gumuyu, celathune:
“Mur, kok nyalawadi. Layang iki mesthine saka mitramu.”
Mur mangsuli semu isin, “Yen mitra pancen nyata, nanging yen nyalawadine ora.” … (halaman 25)
                                    Dari kutipan di atas, sangat terlihat jelas bahwa ragam bahasa yang digunakan adalah ngoko lugu karena komunikasi yang terjadi adalah antara teman sebaya yang sudah akrab. Kemudian kosakata yang digunakan juga merupakan kosakata ngoko.
d.      Dialog antara Mursiati dengan Sutrisna
 
“Olehe budhal saka Bandhung dhek kapan?” (Mursiati)
“Dhek wingi esuk, ananging banjur ngineb ing Ngayogya. Kapriye kabare kene?” (Sutrisna)
“Iya lestari bae. Lah anggone terus menyang Panaraga besuk kapan?” (Mursiati)
“Sesuk esuk jam 08.30.” … (Sutrisna) (halaman 33)
e.       Dialog antara Sutrisna dengan Ibunya
Kacarita nuju sawijining dina, ing wayah jam 9 bengi sabubare mangan, Sutrisna jangongan karo ibune lan adhine wadon kang gedhe dhewe, “Ora ta, Le, aku arep takon karo kowe, aja nepsu ya.”
“Badhe ndangu punapa ta, Bu?”
“Kowe iku apa wis dhemen rabi?” … (halaman 39)
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa percakapan antara Sutrisna menggunakan ragam ngoko dan krama. Sutrisna micara kanthi ragam bahasa Jawa krama alus. Sedangkan ragam bahasa yang digunakan oleh Ibuknya adalah ngoko lugu.
f.       Pertanyaan Sutrisna dengan Priyayi
Sutrisna banjur kepethuk priyayi, nuli takon kanthi ngajeni, tembunge, “Bilih kepareng, badhe nyuwun priksa.”
Wangsulane priyayi mau, “O, inggih.”
Sutrisna nerusake pitakonane, “Badhe nyuwun priksa, punapa margi punika saged terus dhateng Madiun?”
Kang tinakonan sumaur kanthi ulat manis, “O, wonten, ananging inggih taksih tebih sanget.” … (halaman 72)
Dari kutipan tersebut mempunyai arti bahwa Sutrisna menggunakan krama alus saat berkomunikasi dengan priyayi yang kedudukannya lebih tinggi.
g.      Dialog antara Sutrisna dengan Asisten Wandana.
“Kula tiyang manca. Napa niki dalem kaonderan?”
“Enggih. Onten napa bengi-bengi teka mriki?”
“O, kula niki tiyang kesahan saking Sala medal Plaosan, dibegal onten alas rika. Saniki ajeng repot.” …(halaman 83)

2.6  Keterkaitan antara Bahasa dan Tingkatan Sosial pada Novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja
Berdasarkan novel yang telah dibaca, diketahui bahwa antara bahasa dengan tingkatkan sosial sangatlah berkaitan erat. Hal tersebut dibuktikan dari beberapa kutipan novel yang menunjukkan bahwa satu orang dengan orang lain dalam berkomunikasi ada tingkat tuturnya.
a.       Bahasa yang digunakan oleh anak dengan orang tuanya.
Pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja, ragam bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh tingkatan sosial yang disandang oleh tokoh. Misalnya, tokoh Mursiati saat berkomunikasi dengan bapaknya. Tingkatan sosial yang disandang oleh Mursiati adalah bukan priyayi melainkan berpendidikan dan tinggal di kota. Sedangkan tingkatan sosial bapaknya jika dibandingkan dengan Mursiati adalah sebagai orang yang harus dihormati oleh Mursiati walaupun tidak berpendidikan. Sehingga tingkatan sosial ini mempengaruhi cara berbicaranya yang santun dengan dibuktikan dengan tingkat tutur bahasa yang diucapkan pada saat berbicara dengan bapaknya. Yaitu dengan menggunakan krama alus.
….
“Inggih sepinten lepat kula Bapak, nyuwun sagunging pangapunten, jalaran ing wekdal samangke ribed sanget manah kula ngraosaken dhawuhipun Bapak, ngantos kula kaelud sakit.”
“Ribed marga saka sing endi?”
“Mboten kadosa, Bapak. Kula rak sampun matur, bilih ing wekdal punika dereng remen ngladosi tiyang jaler. Punapa malih kula sampun gadhah panuwin, supados rembag ingkang saking Tulungagung punika mboten kadadosaken. Ing wasaana semu-semunipun sampun mateng sanget.” (halaman 7)

b.      Bahasa yang digunakan oleh antar teman sebaya yang sudah akrab
Hubungan bahasa dan tingkatan sosial berdasarkan tuturan yang dilakukan antara Mursiati dengan teman sebayanya dapat dilihat dari kutipan novel berikut ini.
Sarampunge maca, Sundari tumenga marang Mur karo gumuyu, celathune:
“Mur, kok nyalawadi. Layang iki mesthine saka mitramu.”
Mur mangsuli semu isin, “Yen mitra pancen nyata, nanging yen nyalawadine ora.” … (halaman 25)
      Yang menjadikan bahasa yang dituturkan Mursiati dan Sundari ragam bahasa Jawa ngoko adalah karena tingkatan sosial mereka sama. Mereka juga sama-sama berpendidikan. Ditambah lagi alasan paling kuat adalah karena mereka adalah teman sebaya.
c.       Bahasa yang digunakan oleh adik dengan kakaknya.
...
Sumardi semune ora pati ngandel marang dongeng mau, mulane banjur mbantah, “Lo, Yu, jare tlaga Ngebel iku dhek biyen kawahe Gunung Wilis. Ing sarehne wis mati, ora metu genine maneh, banjur isi banyu saka tuk ing sakiwa-tengene. Lah iku dongeng aneh mangkono. Aku kok ora pati ngandel.”
“Iya, satemene bener kandhamu iku, ananging wong iku mung dongen bae, dadi iya aja kokkira yen ana temenan. Ananging kowe aja pisan-pisan nyepelekake dongeng kang mangkono mau sapanunggalane. …” (halaman 21)
Di atas sudah dijelaskan bahwa bahasa yang digunakan bertutur antara Mursiati dengan adiknya  adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Hubungannya dengan tingkatan sosial adalah bahasa yang digunakan oleh Mursiati dengan adiknya adalah karena mereka sama-sama berpendidikan. Hanya saja yang membedakan adalah usianya. Walaupun seharusnya yang muda yang menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, tetapi adanya keakraban hubungan menjadikan ragam bahasa Jawa ngoko lebih efketif untuk digunakan.
d.      Bahasa yang digunakan oleh Sutrisna dengan Asisten Wandana
Sebelum membahas bahasa yang digunakan oleh Sutrisna dengan Asisten Wandana, berikut cuplikannya.
“Kula tiyang manca. Napa niki dalem kaonderan?”
“Enggih. Onten napa bengi-bengi teka mriki?”
“O, kula niki tiyang kesahan saking Sala medal Plaosan, dibegal onten alas rika. Saniki ajeng repot.” …(halaman 83)
Hubungan antara bahasa dan tingkatan sosial berdasarkan tuturan komunikasi antara tokoh Sutrisna dan Asisten Wandana adalah tingkat tutur yang diucapkan oleh Asisten Wandana lebih merendah dan  lebih seperti pelayan karena tingkatan sosialnya lebih rendah daripada Sutrisna.



BAB V
PENUTUP
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian  dan pembahasan yang telah disajikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut.
1.      Penggunaan bahasa pada novel Katresnan karya Soeratman Sastradiardja adalah bahasa Jawa dengan ragamnya yaitu ngoko dan krama.
2.      Hubungan antara bahasa dengan tingkat sosial masyarakat dapat dilihat dari cara menuturkan tingkat tuturan atau undha-usuk atau unggah-ungguh basa yang benar. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko.




DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hardyanto dan Esti Sudi Utami. 2001. Kamus Kecik Bahasa Jawa Ngoko-Krama. Semarang: Lembaga Pengembangan Sastra dan Budaya (LPS&B).
Haryana Harjawiyana, S.U. dan Th. Supriya 2001. Unggah-Ungguh Basa Jawa. Yakyakarta: Penerbit Kanisius.
Koentjaraningrat. 1985.Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Poedjasoedarma, Soepama. 1979 Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sastradiardja, Soeratman.1923. Katresnan. Yogyakarta: Kiblat Buku Utama




Tidak ada komentar:

Posting Komentar